Jumat, 28 Oktober 2011

Indonesia Harus Kembangkan Industri Manufaktur

Pemerintah dinilai kurang memperhatikan ekspor produk yang bernilai tambah. Karena selama ini, kontribusi ekspor Indonesia terbesar adalah bahan mentah yang diekspor ke luar negeri, kemudian diolah kembali oleh negara lain yang selanjutnya masuk kembali ke pasar Indonesia sebagai barang impor. Demikian hal ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Kadin Indonesia Didik J. Rachbini dalam diskusi yang bertajuk, “Ekspor-Impor Bermasalah, Pasrah atau Kerja Keras,” di Kator Pusat Kadin, (20/9).


Dalam satu dekade terakhir, kata Didik, ekspor Indonesia dalam bentuk manufaktur terus tertekan. Meski berdasarkan data ekspor sepuluh tahun terakhir Indonesia menunjukkan surplus perdagangan, namun hal itu dicapai karena Indonesia mengekspor bahan mentah yang sangat besar tanpa diikuti oleh peningkatan nilai tambah atas barang mentah itu. “Akibatnya pangsa pasar ekspor produk manufaktur terhadap total ekspor Indonesia menurun, walaupun di satu sisi nilai dan volume ekspornya meningkat,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Didik membandingkan kondisi pada 1996 dan 2008. Pada 1996, ekspor bahan mentah mencapai US$23,5 miliar sementara ekspor barang manufaktur sebesar US$26,3 miliar. Dari segi persentase terhadap total ekspor, pangsa pasar ekspor barang manufaktur jauh lebih tinggi yakni hampir sebesar 53% sementara untuk bahan mentah hanya sebesar 47%.

Pada 2008, ekspor bahan mentah meningkat drastis menjadi US$61,3 miliar sedangkan ekspor barang manufaktur juga meningkat mencapai US$45,8 miliar. Kendati demikian, pangsa ekspor barang manufaktur lebih kecil daripada bahan mentah.

“Yang terjadi, persentase ekspor bahan mentah lebih tinggi. Ini untuk 2008. Dalam kondisi sekarang, pasti lebih meningkat lagi,” katanya.

Sementara itu, Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Djamal mengungkapkan bahwa ekspor Indonesia terbesar memang dikuasai oleh bahan mentah di antaranya bahan bakar mineral, lemak & minyak hewan/nabati, karet dan barang dari karet, bijih kerak, dan abu logam, dan sebagainya.

Ekspor bahan bakar mineral dan lemak minyak hewan/nabati selama Januari-Juni 2011 bahkan menguasai lebih dari 22% dari total ekspor Indonesia selama periode itu sebesar US$98,6 miliar.

Data juga menunjukkan perkembangan ekspor Indonesia mengalami peningkatan dengan posisi surplus dengan sejumlah mitra dagang utama yakni Amerika Serikat, Eropa, Asean, dan Jepang.

Meski perdagangan dengan negara-negara tersebut mengalami posisi surplus, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China pada Januari-Juni 2011 mencapai 8,95 miliar dollar AS. Jumlah ini hampir sama dengan ekspor Indonesia ke Jepang dalam periode yang sama sebesar 8,96 miliar dollar AS. Namun di sisi lain, impor dari China periode Januari-Juni 2011 jauh lebih tinggi daripada ekspor yang mencapai 12,05 miliar dollar AS. Ketimpangan seperti hal tersebut harus segera diatasi karena akan terus mamicu lonjakan impor.

Direktur Eksekutif Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Lopies mengatakan, jika iklim bisnis tidak mendukung perkembangan industri, maka akan memicu adanya peralihan dari industriawan menjadi pedagang. “Industri makin terpuruk karena serbuan impor. Di tengah kondisi ini, justru industriawan terpicu menjadi pedagang karena cost yang dikeluarkan jauh lebih kecil,” kata Ratna.

Sementara itu, Anggota LP3E Ina Primiana mengungkapkan studi LP3E di lima kota besar di antaranya Jawa Barat, Sumatera Barat, Bali, dan Yogyakarta yang menemukan bahwa terjadi perubahan aktivitas pelaku industri menjadi pedagang.

Perubahan ini, menurut dia, sudah terjadi sejak 2006 dan makin meningkat pada 2010 karena ketidakmampuan bersaing dengan produk impor. “Mereka susah menghadapi produk China sehingga memilih berdagang karena lebih untung,” Kata Ina.


Sumber :
http://www.kadin-indonesia.or.id/berita/kadinpusat/2011/09/368386365426/Indonesia-Harus-Kembangkan-Industri-Manufaktur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar